A Long Dream


Sena terkulai lemas di atas lantai kapal. Ia kelaparan sebab sudah tiga hari tidak menelan nasi barang sesuap pun. Ditambah dengan hari ini maka dihitung empat hari Sena bertahan hidup hanya dengan roti penuh bercak hijau yang ia temukan di dalam tas hitam besar entah milik siapa. Beruntung Sena masih bisa bertahan walau kadang ia merasa mual kelewat hebat.

"Ugh!" Sena merintih pilu sambil memegangi perutnya yang makin melesak ke dalam hingga tulang rusuk bawahnya tercetak dengan apik.

"Apa aku akan mati?" gumam Sena lirih, kemudian disusul dengan tawa yang menyuarakan keputusasaannya.

Perlahan Sena mencoba bangkit kemudian berjalan pelan dengan oleng sambil berusaha menemukan pegangan. Hingga akhirnya ia berhenti tepat di geladak kapal. Sena termangu merasakan  hembusan angin yang menabrakkan diri pada tubuhnya yang lemah. Sena sempat terhuyung namun masih sanggup menguasai diri. Korneanya menatap sajian air berwarna biru yang tersebar luas mengelilingi kapal mati yang ia tumpangi seorang diri. Air laut nampak beriak dengan tenang namun menyimpan keganasan yang tidak pernah Sena tahu kapan akan menerjangnya hingga hancur.

Sena tersenyum menahan sakit di sekujur tubuhnya, terutama kepala dan perut. Kepalanya berdenyut kuat setiap kali ia mencoba mengingat apa alasan yang menyebabkannya berakhir sendirian di kapal yang sama sekali tidak ada penumpang lainnya. Bahkan nahkodanya sekalipun.

Sempat mengira ini hanyalah sebuah prank dengan rencana besar. Tapi tidak mungkin. Lagi pula siapa orang bodoh yang mau menipui seorang tukang es doger?

Sena menghela napasnya yang berat berusaha membuang kesusahannya melalui karbondioksida yang dikeluarkannya barusan.

Kemudian kedua tungkainya mulai maju perlahan. Menuju haluan kapal. Hingga sesaat sebelum Sena memanjat salah satu palang besi yang menghalang. Dipegangnya erat sekali sambil terus memompa udara agar masuk perlahan dalam paru-parunya. Berdiri dengan keseimbangan yang hampir tiada, maka setelahnya Sena memutuskan untuk melompat guna melebur bersama air. Toh, dilakukan atau tidak pun Sena tahu ia sudah habis. Ia akan mati juga.  Jadi sebelum malaikat maut datang menjemputnya dengan tiba-tiba, akan lebih baik jika ia yang memberi kejutan dengan mengunjungi kematian di luar jadwal yang tertulis pada takdir.

BYUR!!!

Sena menyipitkan matanya guna mengurangi tusukan silau yang menembus korneanya sebab cahaya putih yang bersebar di segala arah. Sangking terangnya cahaya tersebut, bahkan saat menutup matanya pun Sena bisa merasakan silaunya.

"Udah di surga ya?" tanya Sena masih dengan menutup matanya menahan silau.

Sena sempat menarik napas dalam sebelum hidungnya seras tertusuk duri sebab kemasukan air. Lagi, Sena kembali kemasukan air sampai rasanya pening melabrak kepalanya. Sena tersadar dan membuka matanya. Silau cahaya kini mulai biasa di matanya. Maka tampaklah air biru yang tenang, tapi bolak balik menampar wajah juga badannya hingga basah.

Sena sadar. Ia belumlah sampai di surga. Ia masih terombang-ambing di lautan dengan badan yang bertumpu pada seekor lumba-lumba besar.

Iya, lumba-lumba!

Sena menjerit namun tak mampu melepaskan pegangannya pada sirip sang mamalia laut tersebut. Ia terus menjerit sambil mencoba memahami kondisinya sekarang ini. Mungkinkah ia ditolong seekor ikan? Atau sebenarnya dia akan dijadikan mangsa? Tapi lumba-lumba tidak makan manusia. Ah, kepala Sena semakin pening seperti mau pecah. Rasanya ia mau pingsan lagi.

"Hey, jangan pingsan terus! Cepat sadarlah!"

Sena terkejut. Kini yang ia tahu hanya dirinyalah yang ada di tengah lautan sebagai manusia. Lalu siapa yang bicara dengannya?

"Iya. Aku yang bicara." sahut si lumba-lumba.

"Aku pasti sudah gila!" jerit Sena frustasi sambil menepuk kepalanya supaya kembali waras.

Merasa jengah dengan Sena, si lumba-lumba mulai menggeliatkan badannya tak beraturan kemudian berkata, "Yaampun! Aku tidak percaya dewa sehebat Neptunus memiliki cucu seperti dirimu. Hey, Sena, Bangunlah! Aku sudah lelah menggendongmu terus!"

Sena yang sudah lemas ditambah pening dengan kegilaan yang terjadi padanya pun akhirnya limbung dan terlepas dari badan sang mamalia kemudian berujung pada kembali tenggelam ke dalam lautan yang dingin.

Dadanya sudah sesak mencari napas di dalam air yang tak kunjung ia dapat. Tangannya terus mengais ke atas mencoba menggapai permukaan untuk sedikit saja oksigen.

Sena menyerah. Semangatnya untuk hidup akan segera patah ketika tiba-tiba ada sebuah tangan besar yang menariknya ke permukaan air.

Lantas hawa hangat udara menyapa kulitnya yang sudah mulai membiru juga keriput kedinginan. Sena tahu dirinya baru saja diselamatkan lagi lantas meraup semua oksigen yang bisa ditampung paru-parunya.

"Kau tak apa, Nak?!"

Sena membuka matanya perlahan dan mendapati seorang pria berpakaian oranye dengan liris hitam pada bagian lehernya. Ada tulisan 'BASARNAS' di sisi kiri dadanya yang sedikit tertutup rompi pelampung.

"Hey, kau sudah sadar?!" ucap sang pria kembali bertanya dengan nada agak senang.

"Ya?" jawab Sena hampir tak terdengar. Dirinya terlalu lemas untuk bersuara lantang.

"Ayo kita kembali ke markas. Korban banjir bandang yang hilang terakhir sudah berhasil ditemukan. Dia harus segera dapat pertolongan medis!"

Sena tertawa lirih mendengar ia adalah korban bencana yang hilang. Ada perasaan lega mengetahui bahwa dirinya masih waras. Tidak ada kelaparan di kapal sendirian, tidak ada lumba-lumba yang bisa bicara, dan tidak ada cucu Neptunus.

Ia hanyalah korban bencana yang tenggelam lalu sempat bermimpi. Iya, Sena hanya sempat bermimpi panjang dan aneh selama mengarungi keruhnya air banjir antara alam bawah sadarnya.

Apapun itu, yang penting tentang dirinya adalah kenyataan bahwa dirinya masih hidup.




Komentar